Renungan di Usia 40tahun
Apabila dia (manusia) telah dewasa dan usianya sampai 40 tahun,
ia berdoa, “Ya Tuhanku, tuntunlah aku mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau
limpahkan untukku dan untuk ibu bapakku. Dan jadikan aku mampu berbuat kebaikan
yang engkau ridhai. Berilah kebaikan padaku dengan (memampukan aku memberi
kebaikan) kepada generasi penerusku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau
(dari segala kekhilafanku) dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
mengikhlaskan diri. (Q.S. al-Ahqâf: 15).
Maha Suci Sang Pencipta yang secara khusus menyebut usia 40 tahun dalam kehidupan manusia. Manusia yang mencapai usia ini pasti telah melewati fase ‘menerima’ dari dunia. Mendapatkan perlindungan, penggemblengan fisik, mental dan spiritual. Hidup juga telah banyak mengujinya, melalui jatuh dan bangunnya dari laku khilaf sebagai anak manusia. Hidup pun telah memaksanya belajar bertahan dalam beratnya tekanan. Hidup juga telah melatihnya bangkit dari kejatuhan, keterpurukan. Dan itulah fase pembelajaran, fase yang memperkayanya dan sepantasnya disikapi dengan penuh kesyukuran.
Lalu tiba usia 40 tahun. Pada usia semestinya ia mulai memasuki fase ‘memberi’. Fase membalas atas budi baik dan nikmat yang diterimanya. Fase memberi yang terbaik dari dirinya. Karena kini ia telah berada pada fase puncak hidupnya. Saat kesempurnaan fisik, kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan kedalaman spiritualitas telah saling mengokohkannya. Itulah episode dimana dia telah selesai dengan dirinya. Fokusnya adalah pada kebaikan diluar dirinya. Kebaikan yang diperuntukkan bagi kebaikan generasi penerusnya, kegemilangan bangsanya.
Kalimat ini membekas dalam perenungannya, “Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam tempo yang cukup untuk berpikir bagi orang-orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan? (Q.S. Fâthir: 37).
Karena “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak unggul mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap masuk neraka.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Jadilah di dunia seakan-akan orang asing (perantau) atau pengembara (musafir).” Abdullah bin Umar ra. berkata, “Jika berada di waktu sore, jangan menanti waktu pagi. Jika berada di waktu pagi, jangan menanti waktu sore. Pergunakanlah (rebutlah) masa sehatmu (dengan amal-amal shaleh) untuk bekal (antisipasi) masa sakitmu dan masa hidupmu untuk bekal (antisipasi) masa matimu.” (H.R. Bukhari).
Sabda beliau diamini oleh Imam asy-Syafi’i yang saat berusia 40 tahun berkata, “Agar aku ingat bahwa aku adalah musafir. Sementara aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar kehidupan. Aku tidak memiliki sisa-sisa syahwat untuk menetap tinggal di dunia. Aku tidak berkenan sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia”. Itu karena dihati beliau tertanam satu keinginan kuat, hanya memberi dirinya bagi kebaikan di sisa hidupnya didunia.
Syeikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani menyatakan, “Kita memiliki keterikatan janji manakala umur kita telah mencapai 40 tahun. Kita tidak boleh lalai bahwa keberadaan kita sebagai musafir yang dalam perjalanan menuju negeri akhirat, di setiap detak nafas kita. Sedetik nafas setelah usia 40 tahun sebanding dengan 100 tahun dari umur kita sebelumnya”. Begitulah. pasca usia 40 tahun, tidak ada lagi waktu untuk lalai mengisi hidup kita. Tidak untuk berebut kekuasaan duniawi, tidak untuk menumpuk kekayaan secara tidak jujur. Semua yang dilakukan diperuntukkan untuk kebaikan, karena sempitnya waktu beramal yang tersisa setelah kita berumur 40 tahun.
Sungguh tidak bijaksana seseorang yang menginjak 40 tahun, hakikatnya telah berada di ujung kematian, menyia-nyiakan waktu yang tersisa menabung amal kebajikan.
Untuk itu, tiada waktu boleh berlalu kecuali dengan:
1. Memenuhi rongga dada dengan rasa syukur dan hati bahagia.
2. Menyambut dgn ikhlas tanggung jawab sesuai tuntunan menjaga kemuliaan.
3. Menjaga kesehatan agar leluasa memperbanyak dan mempertinggi kualitas amal kebaikan.
4. Menghentikan segala kegiatan, kecuali yang memberikan manfaat dan kebaikan bagi kaum yang membutuhkan, mencerdaskan generasi penerus bangsa dan kemaslahatan bagi kemanusiaan.
Memahami hakikat diri sebagai musafir tidak hanya mencegah kita berbuat tidak baik saat di dunia. Lebih dari itu, pemahaman ini menjadi penyemangat yang kuat, agar kita secepatnya menorehkan sebanyak-banyak amal kebaikan di sisa umur, yang akan berlalu semakin cepat.
Prayudhi Azwar
Perth, 25 September 2014
Maha Suci Sang Pencipta yang secara khusus menyebut usia 40 tahun dalam kehidupan manusia. Manusia yang mencapai usia ini pasti telah melewati fase ‘menerima’ dari dunia. Mendapatkan perlindungan, penggemblengan fisik, mental dan spiritual. Hidup juga telah banyak mengujinya, melalui jatuh dan bangunnya dari laku khilaf sebagai anak manusia. Hidup pun telah memaksanya belajar bertahan dalam beratnya tekanan. Hidup juga telah melatihnya bangkit dari kejatuhan, keterpurukan. Dan itulah fase pembelajaran, fase yang memperkayanya dan sepantasnya disikapi dengan penuh kesyukuran.
Lalu tiba usia 40 tahun. Pada usia semestinya ia mulai memasuki fase ‘memberi’. Fase membalas atas budi baik dan nikmat yang diterimanya. Fase memberi yang terbaik dari dirinya. Karena kini ia telah berada pada fase puncak hidupnya. Saat kesempurnaan fisik, kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan kedalaman spiritualitas telah saling mengokohkannya. Itulah episode dimana dia telah selesai dengan dirinya. Fokusnya adalah pada kebaikan diluar dirinya. Kebaikan yang diperuntukkan bagi kebaikan generasi penerusnya, kegemilangan bangsanya.
Kalimat ini membekas dalam perenungannya, “Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam tempo yang cukup untuk berpikir bagi orang-orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan? (Q.S. Fâthir: 37).
Karena “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak unggul mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap masuk neraka.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Jadilah di dunia seakan-akan orang asing (perantau) atau pengembara (musafir).” Abdullah bin Umar ra. berkata, “Jika berada di waktu sore, jangan menanti waktu pagi. Jika berada di waktu pagi, jangan menanti waktu sore. Pergunakanlah (rebutlah) masa sehatmu (dengan amal-amal shaleh) untuk bekal (antisipasi) masa sakitmu dan masa hidupmu untuk bekal (antisipasi) masa matimu.” (H.R. Bukhari).
Sabda beliau diamini oleh Imam asy-Syafi’i yang saat berusia 40 tahun berkata, “Agar aku ingat bahwa aku adalah musafir. Sementara aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar kehidupan. Aku tidak memiliki sisa-sisa syahwat untuk menetap tinggal di dunia. Aku tidak berkenan sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia”. Itu karena dihati beliau tertanam satu keinginan kuat, hanya memberi dirinya bagi kebaikan di sisa hidupnya didunia.
Syeikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani menyatakan, “Kita memiliki keterikatan janji manakala umur kita telah mencapai 40 tahun. Kita tidak boleh lalai bahwa keberadaan kita sebagai musafir yang dalam perjalanan menuju negeri akhirat, di setiap detak nafas kita. Sedetik nafas setelah usia 40 tahun sebanding dengan 100 tahun dari umur kita sebelumnya”. Begitulah. pasca usia 40 tahun, tidak ada lagi waktu untuk lalai mengisi hidup kita. Tidak untuk berebut kekuasaan duniawi, tidak untuk menumpuk kekayaan secara tidak jujur. Semua yang dilakukan diperuntukkan untuk kebaikan, karena sempitnya waktu beramal yang tersisa setelah kita berumur 40 tahun.
Sungguh tidak bijaksana seseorang yang menginjak 40 tahun, hakikatnya telah berada di ujung kematian, menyia-nyiakan waktu yang tersisa menabung amal kebajikan.
Untuk itu, tiada waktu boleh berlalu kecuali dengan:
1. Memenuhi rongga dada dengan rasa syukur dan hati bahagia.
2. Menyambut dgn ikhlas tanggung jawab sesuai tuntunan menjaga kemuliaan.
3. Menjaga kesehatan agar leluasa memperbanyak dan mempertinggi kualitas amal kebaikan.
4. Menghentikan segala kegiatan, kecuali yang memberikan manfaat dan kebaikan bagi kaum yang membutuhkan, mencerdaskan generasi penerus bangsa dan kemaslahatan bagi kemanusiaan.
Memahami hakikat diri sebagai musafir tidak hanya mencegah kita berbuat tidak baik saat di dunia. Lebih dari itu, pemahaman ini menjadi penyemangat yang kuat, agar kita secepatnya menorehkan sebanyak-banyak amal kebaikan di sisa umur, yang akan berlalu semakin cepat.
Prayudhi Azwar
Perth, 25 September 2014
Nasehat Buya Yahya
Silaturahmi jasad yang tidak dibarengi silaturahmi hati hanya
akan tambah merusak hati. Alangkah banyak orang bersilaturahmi jasad dan di
saat berpisah justru mendapatkan bahan baru untuk menggunjing, menbenci dan
mendengkinya buah dari yang dilihat saat bertemu.
Rosululloh
SAW Bersabda yang artinya:
"Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya". (HR. Imam Muslim)
"Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya". (HR. Imam Muslim)
Habib Umar bin Hafidz:"jadikanlah televisi,handphone,internet dan alat-alat lainya sebagai pelayan dan pembantu untuk agamamu ,jika tidak,alat-alat itu akan menghancurkan dirimu sedangkan engkau akan tertawa karena tidak menyadarinya,ia akan merusak hatimu,akalmu,akhlakmu,dan fikiranmu,tanpa engkau menyadarinya,engkau tertawa bahagia padahal alat-alat itu telah merusak hal-hal paling berharga yang kau miliki".
Nasehat Buya Yahya
Silaturahmi
jasad yang tidak dibarengi silaturahmi hati hanya akan tambah merusak hati.
Alangkah banyak orang bersilaturahmi jasad dan di saat berpisah justru
mendapatkan bahan baru untuk menggunjing, menbenci dan mendengkinya buah dari
yang dilihat saat bertemu.
terima kasih .....artikelnya bermanfaat sekali....semoga Allah mengampuni kita
BalasHapus